Sabtu, 03 September 2016

Inilah 8 Modus Pungutan Sekolah

Sejak tahun 2012 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan Permendikbud No 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan pada Satuan Pendidikan Dasar. Tentu ruang lingkup Permendikbud ini pendidikan dasar yakni SD dan SMP serta statusnya sekolah negeri. Hal kedua yang jelas-jelas disebut berbeda di regulasi ini yakni Sumbangan dan Pungutan. Namun hingga 4 tahun berjalan, Permendikbud ini hanya dianggap angin lalu bagi pengelola sekolah.

Jamak kita temui pemberitaan tiap tahun ajaran baru, diberbagai media muncul kabar soal pungutan dan sumbangan. Pada pasal 1 ayat (3) disebutkan Sumbangan  adalah  penerimaan  biaya pendidikan  baik  berupa  uang dan/atau barang/jasa  yang  diberikan  oleh  peserta  didik,  orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat  sukarela,  tidak memaksa,  tidak mengikat,  dan tidak ditentukan oleh  satuan  pendidikan  dasar  baik  jumlah  maupun  jangka  waktu pemberiannya.

Sedangkan pungutan (ayat 2) disebutkan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali  secara langsung yang bersifat wajib,  mengikat,  serta jumlah  dan  jangka  waktu  pemungutannya  ditentukan  oleh  satuan pendidikan dasar.

Kuncinya jelas bila sumbangan itu sifat sukarela, tidak memaksa dan tidk mengikat. Tentu dapat dimaknai bahwa baik bentuk, jumlah/besaran hingga waktu pengumpulan tidak boleh ditentukan, Namun para pengelola sekolah tak kurang akal menyiasati hal ini. Mereka namakan pungutan yang mereka tarik itu menjadi “Sumbangan”. Para pengelola sekolah yang tentu berisi guru-guru yang mendapat sertifikasi jutaan rupiah nampaknya telah mati hati nuraninya. Mereka terus saja melakukan pungli pada orang tua siswa dengan beragam dalih atau modus.

Pungutan ini biasanya muncul di sekolah favourite atau incaran banyak ortu siswa, di perkotaan, jumlah siswanya banyak. Kondisi sebaliknya tidak bakal kita temui di sekolah negeri pinggiran, pendaftarnya pas-pasan bahkan berkurang atau yang bersekolah disitu makin sedikit. Meski sudah memasang sekolah ini bebas biaya, orang tua justru tidak tertarik menyekolahkan anak disana.

Kenapa sekolah atau pendidikan dasar negeri harus membebaskan biaya? Karena hampir semua kebutuhan sekolahnya sudah di cover oleh Negara melalui BOS. Apabila masih kurang, mereka dapat mengajukan penganggaran pada APBD. Dan bila masih belum mencukupi dapat menggali dari sumbangan masyarakat. Ingat, sumbangan masyarakat itu tidak selalu orang tua siswa. Bisa dari berbagai program CSR perusahaan, orang kaya di lingkungan dekat sekolah, dan lainnya. Jika masih kurangpun, sekolah harus membicarakan, merumuskan dan merumuskan bersama komite sekolah sekaligus orang tua. Bukan memutuskan sendiri dan orang tua tiba-tiba hanya dipungut besarannya sama rata.

Padahal kondisi tiap orang tua siswa tidak sama rata. Pun sekolah ketika merencanakan program harus mempublikasikan berapa anggaran yang didapat, berapa kebutuhan program kerja sekolah dan kekurangan itu akan ditutup dari apa. 

Modus Pungutan Dalih Sumbangan
Ada cukup banyak modus yang dilakukan sekolah untuk menarik pungutan. Diantaranya yakni :

Pertama, Penerimaan Peserta Didik Baru/PPDB atau pendaftaran sekolah. Biasanya yang muncul tarikan pada proses ini bisa berupa biaya pendaftaran, kewajiban pakai stop map warna tertentu atau harus berlogo sekolah, fotocopy ini dan itu hingga tariff parkir yang tidak masuk akal. Dengan proses PPDB yang rutin, teknologi yang sudah maju harusnya sekolah memanfaatkan teknologi. Misalnya pendaftaran melalui online, nir berkas. Apabila sudah ketrima baru siswa melengkapi berkas. Buat apa puluhan lembar berkas pendaftaran paska pengumuman? Toh siswa baru tetap saja harus kembali berikan berkas.

Kedua, modus Masa Orientasi Siswa yang diadakan oleh sekolah paska penerimaan siswa baru. Dengan dalih pengenalan sekolah serta kegiatan siswa maka diadakanlah MOS. Biasanya diadakan 3 hari dan mulai ada yang mengadakan menginap di sekolah bahkan pergi keluar kota. Otomatis siswa akan ditarik konsumsi, akomodasi, ATK, atribut dan berbagai kebutuhan lain. Signifikansi dari kegiatan ini tidak terlalu penting sebetulnya tapi sering dipaksakan diselenggarakan.

Ketiga, dalih peningkatan pembelajaran bagi anak didik. Bentuknya macam-macam seperti pembelian Lembar Kerja Siswa/LKS, penambahan jam pelajaran atau bahasa lainnya les hingga outbond. Perubahan kurikulum dari KTSP ke kurikulum 2013 memang memungkinkan kebutuhan outbon.

Keempat, berbagai persiapan jelang tes baik tes tengah semester, tes semester hingga persiapan Ujian Nasional. Sekolah mewanti-wanti pada orang tua agar anak-anak punya kesiapan dalam menghadapi tes. Ada yang ditakut-takuti materi tidak cukup waktu, anak masih butuh dilatih hingga alasan kapasitas anak yang pas-pasan sehingga butuh drill atau latihan intensif. Hal ini menjadikan jam pelajaran ditambah lebih panjang. Bisa dibayangkan ada sekolah negeri yang anak kelas 1 harus les. Kebutuhan apa yang harus diadakan untuk anak kelas 1?

Kelima, datangnya tahun ajaran baru. Dalam satu tahun ada 1 kali tahun ajaran terutama bagi siswa baru. Mereka harus membeli seragam, kaos kaki, ikat pinggang, sepatu bahkan ada sekolah yang menyeragamkan tas sekolah. Memang seragam ini kebanyakan diadakan oleh sekolah swasta namun tidak jarang sekolah negeri banyak juga yang mewajibkan seragam ikat pinggang, kaos kaki bahkan baju seragam merah putih atau putih biru harus beli di sekolah. Padahal hampir dipastikan harga seragam di sekolah jauh lebih mahal yang selisihnya bisa ratusan ribu. Itu dengan bahan yang sama, bagaimana dengan jenis yang berbeda?

Keenam, modus Penmbahan fasilitas sekolah baik berupa gedung ataupun perangkat isinya seperti laboratorium, perpustakaan, toilet, kantin, lahan parkir dan lain sebagainya. Padahal pengadaan berat seperti ini masuk kategori investasi dan dapat diminatakan ke pusat dan Pemda. Hanya bila dianggarkan oleh APBN atau APBD tentu pengelolaannya lebih ketat.

Ketujuh, mengisi kegiatan jeda semester bisa berupa classmeeting, outbond, karya wisata bahkan piknik. Dengan berbagai pilihan itu, tentu pungutan yang diminta ke orang tua siswa cukup tinggi terutama bila kegiatannya piknik. Apabila tidak ikut, anak yang akan menjadi korbannya sementara bila ikut belum tentu mampu secara materi.
Kedelapan, kegiatan akhir tahun/lulusan. Meski status anak-anak sudah berakhir, justru banyak sekolah kemudian “memaksa” siswa memberi kenang-kenangan sekolah. Seakan-akan kalau tidak ada kenang-kenangan mereka tidak tahu terima kasih. Kadang tidak hanya tinggalan disekolah namun juga wali kelas mereka. Bahwa patungan itu atas inisiatif anak atau orang tua siswa tidak masalah namun bila inisiatif karena disinggung guru, tentu salah. Kenapa? Guru sudah dapat gaji dan kewajibannya mengajar. Penghargaan kadang tidak datang ketika pembelajaran berakhir namun ketika anak-anak meraih kesuksesan, disitu mereka mengingat guru-guru mereka.

Selain delapan modus ini bisa jadi masih banyak modus pungutan sekolah dalam bentuk lain. Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan, Inspektorat, hingga DPRD banyak yang tidak berdaya memberantas pungutan sekolah.

Betapa susahnya membongkar praktik korup di satuan pendidikan. Jika dulu orang banyak mafhum pungutan sebagai penambah insentif guru dikarenakan gaji tak layak namun sekarang ketika gaji tak dipersoalkan oleh pendidik mereka sendiri enggan mengurangi bahkan memberantas praktek-praktek semacam ini. Diakui atau tidak praktek pungutan semacam ini meningkatkan tingginya biaya pendidikan di Indonesia.

Akankah kita diam saja melihat semua ini?


0 komentar:

Posting Komentar