Minggu, 18 September 2011

Pungli Di Seputar Bandara Adi Sumarmo

Ruang publik merupakan ruang yang harus disediakan oleh pemerintah daerah sebagai tempat berinteraksi antar warga maupun dengan kelompok lainnya. Namun sayangnya ruang publik kian lama kian terkikis kalah oleh pembangunan. Padahan ruang-ruang ini sangat diperlukan masyarakat untuk melepas beban menjalani rutinitas yang semakin hari kian berat. Apalagi diwilayah perkotaan, ruang-ruang itu kini berganti dengan jalan raya, mall, supermarket, perkantoran dan lain sebagainya.

Sebenarnya ada banyak keuntungan yang bisa didapat oleh pemerintah daerah bila menyediakan ruang-ruang ini. Meski manfaat secara langsung tidak selalu didapat namun untuk jangka panjang memberi efek yang cukup strategis. Apalagi dalam aturan disebutkan ruang terbuka hijau sebuah wilayah minimal 30 persen. Disitu tidak diharuskan ruang terbuka hijau berbentuk seperti apa, namun bisa di mix use untuk berbagai kepentingan terutama kepentingan pemda.

Provost AURI diseputar bandara (Insert : wajah penarik pungli)
Sebut saja selain bisa dibuat taman, ruang terbuka hijau bisa dimanfaatkan untuk pentas kesenian, olah raga, pameran dan beragam manfaat lain. Lahan terbuka juga mampu menyerap air dalam jumlah cukup banyak. Kalau kita perhatikan, tempat interaksi warga kini telah bergeser (atau digeser) ke ruang-ruang pemilik modal seperti mall. Maka dari itu, masyarakat kelas menengah ke bawah mencari alternatif ruang terbuka yang tidak berbayar untuk berinteraksi.

Bisa jadi ruang yang tidak seharusnya digunakan untuk melepas kepenatan maupun bercengkrama dengan keluarga. Sebut saja di Wonogiri ada Waduk Gajahmungkur, di Sukoharjo ada Stasiun Gawok atau tepi rel, di Solo ada pelataran stasiun Purwosari dan di Boyolali seputaran Bandara Adi Sumarmo. Untuk kasus terakhir, rupanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mendapatkan keuntungan. Meski dekat markas AURI, kenyataannya pungutan liar itu tetap terjadi.

Setiap orang yang melihat parkir di seputaran pagar Bandara (bukan didalam komplek bandara) dikenai pungutan Rp 2.000. Dalam karcis yang diberikan pada pengunjung tertulis Bantira Group (Alam Refresing Bandara Agro Wisata Interaktif) dengan alamat tak jelas hanya tercantum Selatan Bandara Adi Sumarmo Surakarta Telp (0271) 756 4227. Belum lagi tak ada stempel resmi dari instansi atau pungutan tersebut didasarkan pada Perda atau Perbup Pemda Boyolali. Dana itu ditarik untuk uang kebersihan dan pengembangan.

Sesuai pengamatan lapangan, mereka menarik uang dengan berombongan 3-4 orang. Meski ada petugas Provost AURI yang berjaga namun sepertinya mereka bebas bergerak. Entah karena petugas tersebut tak tahu, tak mau tahu atau memang tahu sama tahu. Beberapa waktu lalu terungkap di media bahwa itu pungutan liar karena tak melalui ijin Angkasa Pura sebagai pihak pengelola bandara maupun Pemda. Bila begitu, kemana dana itu mengalir.

Karcis pungli dengan alamat tak jelas
Hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus terjadi sebab Pemda, Auri maupun Angkasa Pura akan dirugikan dengan citra yang dibentuk. Sebenarnya masyarakat tak keberatan dibebani pungutan namun sudah selayaknya berdasarkan aturan yang jelas. Dengan aturan yang jelas maka setiap pendapatan yang masuk akan dikelola secara jelas pula hingga peruntukannya. Hampir setiap sore puluhan kendaraan dan mobil terparkir disana.

Bagi Pemda Boyolali, seharusnya tempat ini menjadi kawasan yang bisa dikelola karena memang bukan ranah Angkasa Pura (kecuali dibuat pagar tertutup) apalagi kewenangan AURI. Wilayah itu terletak di jalur strategis yakni antara Solo menuju beberapa kawasan Boyolali Utara, dekat dengan pasar, rindang, lahan luas, banyak pedagang, sudah dikenal dan peluang lainnya. Artinya kawasan tersebut dapat dikelola secara optimal untuk memberi tambahan PAD.

Bila dikelola secara optimal, bukan tidak mungkin tempat itu menjadi alternatif rujukan wisatawan lokal yang menarik. Pedagang kaki lima tinggal ditata atau diatur secara tertib, sediakan lahan parkir tersentral dan beri fasilitas pengunjung misalnya berupa bangku, tenda pelindung bila musim hujan, perpustakaan, arena bermain anak dan lain sebagainya. Bisa saja parkir digratiskan namun yang harus dibayar adalah jumlah orang karena jarang orang datang sendirian.

Dari pengamatan sekilas, setidaknya lebih dari 50 motor/mobil dan bila dikenakan Rp 2.000 maka akan didapat dana Rp 100.000. Perbulannya paling tidak Rp 3.000.000 dan itu baru dari pengunjung. Belum lagi misalnya PKL dikenai retribusi atau masuk tempat mainan anak masih membayar atau ada penyewaan majalah dan buku. Daripada dana tersebut masuk ke kantong pribadi yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

0 komentar:

Posting Komentar